Peranan Walisongo dalam perkembangan Islam di Indonesia
Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan Islam
di Indonesia. Bahkan mereka adalah perintis utama dalam bidang dakwah
Islam di Indonesia, sekaligus pelopor penyiaran Islam di nusantara.
‘Wali’ adalah singkatan dari bahasa Arab, Waliyullah yang berarti ‘orang
yang mencintai dan dicintai Allah’ dan Songo berasal dari bahasa Jawa
yang berarti ‘sembilan’, sehingga Wali songo merujuk pada wali sembilan
yaitu Sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah.
Mereka diberi gelar seperti itu karena mereka
dianggap penyiar-penyiar agama Islam dan yang terpenting adalah karena
kesungguhan mereka dalam mengajarkan dan menyebarkan Islam. Disamping
itu, Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga
kepemerintahan.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai
utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi HinduBudha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Berikut ini adalah ulasan singkat mengenai peranan masing-masing sunan Wali Songo :
1. SUNAN GRESIK atau Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia
disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar
Thariqat Wali Songo . Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah,
pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri dan 2 anak.
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam
dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa
yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha
menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik.
Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2. SUNAN AMPEL atau Raden Rahmat
Sunan Ampel adalah Anak Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Menurut Babad
Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan
namaRaden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di
daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari
Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada
tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum
ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke
Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati,
yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar
Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika
Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari
Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475
M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit,
ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul
masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara
bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden
Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke
berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia
hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman
akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main,
moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk
“tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. SUNAN BONANG atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang perempuan
bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang
adalah Anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim.
Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum Ibrahim.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa Tengah
-sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun
tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan
nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun
demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk
berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura
maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal.
Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah
sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks.
Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai
mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat
mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah
SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer
melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang
tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab
Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak
menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan
yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator
gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah
salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan
tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan
Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah
(peneguhan).
4. SUNAN DRAJAT atau Raden Qasim
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan,
kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan
dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat,
Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5. SUNAN KUDUS atau Ja'far Shadiq
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan
Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti
Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24
dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki
peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim
peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan
priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan.
Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan
wafat pada tahun 1550.
6. SUNAN GIRI atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan
Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa
kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja
Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut
anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan
sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel,
tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit
adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja
Majapahit -
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi
keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu
Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu
itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah
bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari
pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,
Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi
VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,
Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu
fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri.
Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun
syarat dengan ajaran Islam.
7. SUNAN KALIJAGA atau Raden Said
Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut
masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya
Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah
nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya
dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali)
atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari
bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ” penghulu
suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir
1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal”
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis
salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang.
Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa
Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati
Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede
– Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
8. SUNAN MURIA atau Raden Umar Said
Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga Nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung
Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu.
Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
9. SUNAN GUNUNG JATI atau Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar
tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran
Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain,
ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang
memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal
Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Pengaruh nilai-nilai Islam dalam budaya Nusantara
Sejak
awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi
budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma
aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila
dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai
realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering
disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau
local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi
besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran
dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi
keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan
pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut
dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi
kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition).
Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam
pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam
istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan
baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa
pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik
antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai
suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah
Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis
hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya
local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara
slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban
(nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti
dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional
suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak
menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak
hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di
dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara
dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam
pengembangan budaya local.
Pada
sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang,
berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan
ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh”
fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid
Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan
arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara
berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam
perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten,
Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri
dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton
yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai
pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan
di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi
juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain
Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis
dan sebagainya.
Dalam
bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap
memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para
penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi
yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan
pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan
adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat
beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan
lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di
berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa
Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda
keyakinan.
Aspek
akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya
Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni
beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan
sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni
beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan
dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia
yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa
disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya
memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan
syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau
tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar
nasional.
Akulturasi
Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di
Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera
Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah
lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara
lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar,
dan Marpangir.